Senin, 07 Januari 2008

Islam Politik mengikis kekuatan aswaja

ASWAJA. "Asal Wajar-wajar Saja". Begitu kira-kira yang berkembang di
kalangan sahabat-sahabat muda NU sekarang. Tentu saja, ungkapan itu tidak
asal *nyeplos *dari gurauan sehari-hari kita. Meski sekilas lucu dan
sarkastik, tapi ungkapan itu begitu berkesan. Karena setelah dipikir-pikir,
ditimang-timang, "kok ada benernya juga ya, ungkapan itu?" kata seorang
sahabat suatu saat.
 
Praktik asal wajar-wajar saja, ternyata tidak semudah dengan istilah "wajar"
itu sendiri. Sebagaimana saat kita berakting dalam pementasan atau di depan
kamera, berlagak wajar yang disengaja lebih sulit dari berlagak tidak wajar.
Ya, jika kita berakting, kita dituntut benar-benar membayangkan sosok kita
sebagai orang yang kita lakonkan, baik secara pikiran, jiwa maupun raga,
agar kita benar-benar mempresentasikan sosok yang kita bayangkan tersebut.
Dan hasil dari imajinasi tersebut kita akan tampak wajar sebagai karakter
yang kita aktingkan. Berbeda sekali dengan orang yang berakting, tapi meniru
gerak-gerak fisiknya saja. Matanya akan tampak kosong. Gesturnya tak
berenergi. Sangat hambar. Tentu saja, tidak semua orang bisa merasakan itu.
kecuali dia mengerti tentang dunia akting (seperti saya). Begitulah jika
saya teringat dengan teater.
 
Lalu apakah kewajaran dalam bermadzhab juga seperti itu? Sekiranya
ber-Aswaja dipahami secara ideologis oleh penganutnya, ia akan tampak wajar.
Apa yang dijalankan oleh pengikutnya tampak wajar saja, tapi ada metaenergi
yang, hanya, dapat dilihat oleh orang-orang yang mengerti tentang kehidupan
bermadzhab, tentunya. Bagi kaum awam, seperti saya, tentu tidak terlalu
paham tentang ini. Karena orang awam, seperti saya, pemahaman tentang Aswaja
telah terdistorsi oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat ini.
Sedangkan corak-corak pemikiran yang berkembang saat ini tampaknya madzhab
yang tidak jelas ujung pangkalnya. Ada semacam keterputusan sinyal yang
menghubungkan pada jaringan-jaringan yang sangat rumit. Suatu saat kita
mendapati sinyal kuat madzhab Mu'tazilah atau apapun namanya, pada saat yang
lain ia redup dan diterjang madzhab yang lainnya. Saya pribadi merasakan ada
jaringan multimadzhab yang berkelindan di alam lingkungan kita sekarang.
Sampai saya pun merasa lupa dengan ajaran-ajaran parsial Aswaja di masa lalu
saya.
 
Saat ini, di mana masa kita bergulat dengan berbagai pemikiran, kita
menemukan Aswaja yang begitu kaya. Ajaran yang, bisa dikatakan, holistik
dalam kehidupan. Tapi kita juga merasakan ada penonjolan-penonjolan pada isu
tertentu, semisal fiqh, tapi ada yang sekilas lewat, semisal tasawuf.
Padahal masing-masing isu, mempunyai pemikiran tersendiri yang kaya. Dalam
bidang Fiqh, kita menemukan berbagai pemikiran dan tema. Ada Fiqh Muamalah,
Fiqh Siyasi, Fiqh Nisa' dan sebagainya. Belum lagi bidang Tasawuf, atau
Teologi dan sebagainya. Lalu kita kembali kepada Aswaja yang pembatasannya
begitu luas lagi. Saya pun harus memilih satu diantara mereka yang paling
nyaman di pikiran secara meyakinkan, tentunya. Namun, pikiran kita ternyata
tidak sendirian. Ada pikiran-pikiran lain yang bisa saja menghambat
keyakinan yang nyaman itu. Menghadapi yang demikian, Madzhab Asal
Wajar-Wajar Saja saya kira yang paling relevan.
 
Pada saat ada tarikan ke kanan, kita sedikit bergeser ke kanan. Pada waktu
ada yang menarik ke kiri, kita pun lengser ke kiri sedikit. Tapi posisi
masih tetap di Tengah. Antara kiri dan kanan. Antara Fundamentalis dan
Liberalis. "Ya sudahlah," kata teman saya. "Takperlu terlalu risau urusan
itu. Tuhan pun Maha Tahu kalau kamu tidak tahu. Wajar-wajar saja," begitulah
pesan teman kepada saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"MOHON KRITIK,SARAN DAN KOMENTAR ANDA"