Senin, 07 Januari 2008

Pemanasan global rek(teko cak tain kanggo konco-conco)

Pemanasan global (?!?), mungkin sebagian besar dari kita sudah tahu mengenai pemanasan global dari informasi yang kita dapat melalui mass media akan tetapi biasanya memang dibahas dalam skala kebijakan yang sangat besar. Nah bisakah kita sebagai orang yang biasa ini berkontribusi positif terhadap pengurangan dampak pemanasan global? Pastinya sih bisa.

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi (sumber dari Wikipedia). Jadi sih intinya Bumi kita tuh memanas karena sinar matahari yang sudah masuk ke bumi kita tidak bisa keluar lagi karena gas-gas rumah kaca tadi membentuk lapisan di atmosfer yang memantulkan sinar matahari tadi (kalau mau baca lebih lengkap silahkan lihat di Wikipedia).

Skema pemanasan global

(gambar dari situs kementrian lingkungan hidup)

Laporan tersebut menyebut manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.

Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.

Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif. sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi.

Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat.

Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.

bahwa pemanasan global telah mencairkan es di Antartika lebih cepat dari perkiraan semula. Diduga lebih dari 13.000 kilometer persegi laut es di Semenanjung Antartika telah hilang dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini.

Dalam pengumuman hasil penelitian di Konferensi Perubahan Iklim di Exeter, para ilmuwan dari British Antarctic Survey (Bas) juga mengatakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia akibat lelehan es selama ini masih kurang diperhatikan.

Hal tersebut disoroti Profesor Chris Rapley, direktur Bas, dengan mengatakan bahwa Antartika seolah seperti "raksasa yang dibangunkan", dimana lelehan es-nya memberi dampak besar pada kenaikan permukaan air laut, namun kebangkitannya tidak dirasakan.

Melelehnya Semenanjung Antartika bahkan telah menghilangkan lautan es yang dahulu berfungsi menahan gerakan gletser. Akibatnya, gletser kini mengalir ke lautan enam kali lebih cepat dibanding sebelumnya.

Wilayah lain di sana yang terpengaruh oleh perubahan ini adalah Antartika Barat, dimana air laut yang lebih hangat telah mengikis es dari bawah.

Pada tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan permukaan laut global rata-rata akan naik antara 11 cm hingga 77 cm pada tahun 2100. Saat itu diramalkan, sumbangan lelehan es Antartika terhadap kenaikan tersebut tidaklah besar.

Namun selama lima tahun terakhir, penelitian menemukan bahwa lelehan es Antartika bertanggung jawab terhadap sedikitnya 15 persen kenaikan permukaan laut di seluruh dunia, atau sekitar 2 mm tiap tahun.

Tidak begitu jelas apakah penyebab lelehan yang cepat ini, meski beberapa ahli menduganya sebagai akibat pemanasan global.

Perlu diketahui, beberapa bagian utama gunung-gunung es Antartika telah pecah pada dekade ini. Beting es Larsen A, yang berukuran 1.600 kilometer persegi, telah pecah tahun 1995. Beting es Wilkins seluas 1.100 kilometer persegi runtuh tahun 1998, dan Larsen B yang luasnya 13.500 kilometer persegi terlepas tahun 2002. (bbc.co.uk/wsn)

Es di Antartika meleleh cepat dan mengakibatkan naiknya permukaan laut

Para peneliti yakin, bila es-es di Greenland itu mencair, maka ketinggian permukaan air laut di seluruh dunia akan naik sekitar tujuh meter.

Disebutkan, lapisan es Greenland --yang merupakan lapisan terbesar kedua di Kutub Selatan itu-- tidak akan bertahan, kecuali kita berhasil mengurangi efek rumah kaca akibat emisi gas karbon dioksida. Adapun gas karbon dioksida yang menutupi atmosfer Bumi telah menyebabkan panas tidak bisa keluar, dan akibatnya suhu pun naik.

Padahal saat ini, suhu rata-rata di Greenland hanya butuh sekitar 3 derajat saja untuk membuat lapisan esnya mencair. Sementara yang akan kita hadapi tahun 2350 mendatang adalah kenaikan 8 derajat!

Nah, apabila lapisan es hilang dari Greenland, maka daratan itu akan menjadi lebih panas karena ia berada di tempat rendah, dan lebih banyak menyerap sinar Matahari, bukan memantulkannya seperti ketika ada es.

"Tidak seperti es di Lautan Kutub Utara yang mencair dan membeku kembali tiap tahun, lapisan es Greenland mungkin tidak bisa kembali lagi walaupun suhu global diturunkan hingga seperti jaman pra industri," kata Dr Gregory.

Sebelum terjadinya era industrialisasi, atmosfer Bumi mengandung 280 ppm (parts per million) karbon dioksida. Kini jumlah itu meningkat hingga 370 ppm. Penelitian menunjukkan kenaikan itu akan terjadi hingga 450, 550, 650, 750 dan 1.000 ppm.

Satu-satunya kesepakatan internasional untuk mengurangi gas rumah kaca adalah Kyoto Protocol, yang menetapkan negara-negara industri agar mengurangi emisi global dalam jangka waktu tahun 2008-2012.

Namun kesepakatan itu menghadapi tantangan besar. Ia masih membutuhkan ratifikasi dari Rusia, dan dalam beberapa hal, beberapa kesepakatannya tidak diindahkan oleh Amerika Serikat, produsen karbon dioksida terbesar dunia. (BBC/wsn)




Lapisan es Greenland terancam hilang karena pemanasan global

Es Kutub Utara Akan Mencair Seluruhnya Dalam 100 Tahun

Oslo, Kamis

Istimewa
Kutub Utara dilihat lewat satelit

Lapisan es di Kutub Utara akan meleleh seluruhnya dalam satu abad mendatang, bila emisi karbon dioksida terus memanaskan atmosfer Bumi dengan laju seperti sekarang ini. Demikian hasil penelitian para ilmuwan Norwegia.

"Sejak tahun 1978, lapisan es itu menyusut antara tiga hingga empat persen tiap dekade. Bila lajunya masih seperti itu, maka saat pergantian abad nanti tidak akan ada lagi lapisan es di Kutub Utara pada musim panas," ujar salah satu peneliti, Ola Johannessen, Rabu (14/8) di Oslo.

"Andai emisi karbon dioksida menjadi makin tinggi, maka pelelehan itu akan terjadi lebih cepat, namun apabila kita bisa menguranginya, maka proses tersebut akan menjadi lebih lambat," lanjut Johannessen yang adalah profesor di Institut Riset Nansen di Bergen, Norwegia.

Penelitian terhadap Kutub Utara menggunakan satelit memperlihatkan bahwa lapisan es di sana telah menyusut sebanyak satu juta kilometer persegi selama 20 tahun terakhir ini. Keadaan itu menyebabkan wilayah Kutub hanya dilapisi es seluas enam juta kilometer persegi di musim panas.

Menurut Johannessen, lelehan lapisan es itu akan menimbulkan aliran air dingin dalam volume besar, yang pada akhhirnya akan mengurangi kehangatan arus permukaan lautan seperti arus teluk (Gulf Stream).

Padahal Gulf Stream mempengaruhi iklim di Eropa, artinya perubahan terhadapnya akan megakibatkan pula perubahan serius terhadap iklim dan ekosistem di wilayah tersebut.

Meski demikian Johannessen menegaskan bahwa lelehan lapisan es itu tidak akan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut. "Karena lapisan es sudah berada di air, mereka tidak akan menambah massanya. Hanya hujan, pembuangan dari sungai, dan lelehan glasier yang bisa menaikkan permukaan air laut."

Ditambahkannya, hilangnya es di Kutub akan memperluas lautan sekaligus meniadakan halangan pelayaran di wilayah utara. Perjalanan dari Eropa ke Jepang melewati lautan Rusia akan lebih cepat 10 hari karena kapal tidak perlu mengitari lapisan es.

Ironisnya, meluasnya lautan juga akan membantu dunia menyerap karbon dioksida. "Dari tujuh gigaton CO2 yang dilepaskan saat ini, lautan mampu menyerap hingga 2,5 ton," tandas Johannessen. "Makin luas lautan, makin banyak pula CO2 yang bisa diserap." (AFP/wsn)

Semakin banyak es mencair

Gunung Es

Semakin banyak es di Kutub Utara dan Selatan yang mencair

Walau terpencil dan tidak bersahabat, wilayah kutub sejak lama menarik perhatian para ilmuwan.

Jauh dibawah permukaannya yang beku, kutub menyimpan rahasia kuno bumi, ketika es menutupi sebagian besar permukaan bumi.

Tetapi bersamaan dengan besarnya keinginan para ilmuwan untuk mempelajari daerah ini, makin meningkat pula kekuatiran bahwa es di kedua kutub bumi mencair dengan tingkat yang sangat cepat.

Ini jelas terlihat di laut Artik, lautan yang sangat dingin, yang mengitari Kutub Utara, yang menimpa es abadi.

Seperti diketahui, di Kutub Utara dan Selatan terdapat dua jenis, yaitu es musiman, yang terbentuk saat musim dingin tiba, dan es abadi, yang tebal dan tidak mencair sepanjang tahun.

Namun penelitian selama 10 tahun terakhir menunjukkan penurunan dramatis dalam es abadi.

Dr. Son Nghiem adalah ilmuwan di badan antariksa NASA, yang menggunakan pantauan citra satelit untuk menentukan seberapa banyak es abadi yang cair.

"Yang kami amati adalah penurunan drastis es abadi dan luas penurunan bisa dikatakan sangat luas. Pada tahun 2005 terjadi pengurangan hingga 14 persen atau wilayah seluas Texas maupun Turki," tuturnya.

Pola lama menghilang

Kutub Selatan

Diperkirakan es di kutub mencair dlam waktu 40 tahun

Sementara itu laju mencairnya es musiman di kawasan Artik juga semakin meningkat saja dalam satu dasa warsa terakhir ini.

Biasanya setiap musim gugur, dengan arus dingin yang bergerak, maka daerah yang mencair biasanya beku kembali. Tetapi pola seperti itu ternyata tidak terjadi lagi terjadi.

Es musiman yang hilang di musim panas semakin sedikit yang bisa membeku kembali di musim dingin berikutnya.

Dr. Mark Serreze, seorang ilmuwan khusus yang mengawasi es lautan di Universitas Colorado, mengatakan asumsinya adalah es Artik akan kembali muncul di musim dingin.

"Tetapi yang kita lihat sekarang adalah musim dingin tidak mampu mengembalikan es yang sebelumnya hilang. Kami melihat sendiri kejadian itu pada tahun 2006," tambahnya.

Pada Bulan November, menurut Dr. Mark Serreze, kawasan Artik kehilangan 2 juta km2 persegi esnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Ini menjelaskan kepada kita bahwa sistem yang selama ini ada ternyata tidak lagi mampu menyembuhkan diri," tuturnya.

Mengancam kehidupan

Salah satu yang sangat menggoda adalah jalur pelayaran laut Utara karena akan langsung membawa kapal dari Eropa ke Jepang

Dr. David Vaughan

Para ilmuwan mengatakan peningkatan suhu yang disebabkan oleh peningkatan C02, karbon dioksida, di atmosfir bumi yang menjadi penyebabnya.

Bagaimanapun ada juga faktor-faktor alam, seperti kencangnya angin yang membawa es Laut Artik ke lautan yang temperaturnya lebih hangat.

Mencairnya lautan es ini merupakan persoalan hidup mati bagi kehidupan binatang laut di Kutub Utara.

Beruang Kutub, misalnya, seperti menyaksikan dengan mata kepala sendiri habitatnya dimusnahkan.

Situasi begitu mengkhawatirkan sehingga pemerintah Amerika Serikat akhirnya mau juga mengakui bahwa pemanasan global yang menjadi penyebab semakin banyaknya es yang mencair di kutub.

Dan ancamannya bukan terhadap ekosistem semata, tetapi juga pada penduduk asli yang hidup di pinggiran Laut Artik.

Apa yang terjadi belakangan merupakan ancaman bagi cara hidup masyarakat yang telah bertahan ribuan tahun.

Edward Itta, Walikota sebuah kota kecil di Alaska Utara, menjelaskan ancaman al bagi kehidupan mereka.

"Musim dingin menjadi lebih pendek, kurang menggigit, dan salju cair lebih awal, sementara lapisan es lebih tipis. Semua ini menyulitkan perburuan ikan paus, yang menjadi cara hidup kami selama seribu tahun lebih."

Edward Itta yang juga merupakan pemburu ikan paus menegaskan bahwa bahwa berburu ikan paus merupakan inti kebudayaan mereka.

Kepentingan ekonomi

Es di kutub

Ada juga yang melihatnya sebagai kesempatan

Salah satu yang dituding mendorong pemanasan global adalah ketergantungan umat manusia terhadap minyak.

Namun di sisi lain banyak yang melihat melelehnya es di kawasan kutub sebagai kesempatan bagus untuk melakukan eksplorasi minyak.

Soalnya, diperkirakan sekitar sisa 25% cadangan minyak dunia diperkirakan ada di dasar Laut Artik.

Dan perusahaan-perusahaan minyak sudah tak sabar untuk melakukan eksplorasi.

Selain itu melelehnya gunng-gunung es juga dianggap membuka jalur perkapalan baru, yang diyakini akan memperbaiki perekonomian kawasan.

Dr. David Vaughan dari Badan Penelitian Antartika Inggris mengakui godaan keuntungan ekonomi terlalu kuat untuk diabaikan.

"Salah satu yang sangat menggoda adalah jalur pelayaran laut Utara karena akan langsung membawa kapal dari Eropa ke Jepang. Kalau itu terjadi maka akan menghemat uang dan waktu," katanya.

Selama ini kapal-kapal dari Eropa yang menuju sebagian kawasan Asia harus memutar lewat Terusan Suez.

"Jadi memang ada keuntungan, tetapi juga konsekuensi negatif jelas tidak kalah besarnya dari pemanasan global ini."

40 tahun lagi?

Memang persoalan Artik pada akhirnya bukan persoalan keilmuan saja, melainkan juga persoalan kepentingan ekonomi dan teritorial dari beberapa negara seperti Kanada, Rusia, Amerika Serikat, dan Norwegia.

Bagaimanapun dari bukti ilmiah, jelas bahwa Kutub Utara dan Seladan berada dibawah ancaman perubahan iklim yang hebat.

Dan kedua daerah ini sangat vital dalam menjaga agar planet tetap dingin karena es di kutub menjadi perisai bumi dalam menangkis 90% sinar matahari yang menimpa bumi, dan mengembalikannya ke angkasa luar.

Tetapi kalau es di kutub mencair maka 90% panas sinar matahari akan diserap lautan dan semakin meningkatkan pemanasan global.

Dengan tidak menghentikan tingkat emisi C02 saat ini, diperkirakan es abadi di kutub akan musnah dalam waktu tidak lama lagi.

Jika mengikuti model yang sudah dirancang para ilmuwan, maka es abadi akan meleleh sepenuhnya dalam waktu 40 tahun.

Apakah manusia harus menunggu 40 tahun lagi sebelum menyadari dampaknya bagi kehidupan di bumi?

Jika laut makin panas

Laut

Laut yang menghangat berdampak negatif bagi ekosistem

Banyak orang membayangkan lautan biru dengan air hangat sebagai sebuah gambaran laut yang ideal.

Dan menurut ilmuwan kelautan, gambaran laut yang hangat itu akan mudah kita jumpai dalam 100 tahun mendatang.

Tetapi itu jelas bukan berarti berita baik untuk lingkungan karena lautan biru itu muncul disebabkan pemanasan global yang membuat laut menjadi terlalu panas bagi ikan, atau terlalu beracun untuk hewan laut.

Lautan yang makin panas itu juga mungkin sudah tidak mampu lagi untuk menyerap Karbon Dioksida, CO2, dari atmosfir bumi.

Selama ini lautan menyerap lebih dari separuh panas yang dipancarkan matahari dan kemudian membaginya ke seluruh permukaan bumi.

Dan menurut Dr. John Shepherd dari Lembaga Oseanografi Inggris di Southampton, lautan juga ikut memperlambat dan mengurangi ancaman perubahan suhu.

"Lautan meringankan dampak perubahan iklim dengan menyerap Karbon Dioksida dan karenanya mengurangi jumlahnya yang ada di atmosfir bumi," kata Dr. John.

Dia menambahkan lautan bisa dianalogikan sebagai bemper terhadap perubahan iklim dunia.

Sabuk laut

Di wilayah utara Atlantik ada Laut Artik, sehingga arus air hangat bisa bergerak hingga jauh sekali ke ujung kutub

Stuart Cunningham

Namun belakangan ini ada kekuatiran kalau laut saat ini semakin tidak mampu mendistribusikan panas ke seluruh penjuru bumi.

Dibawah permukaan air, ada gelombang atau mungkin lebih tepat disebut aliran arus laut, yang oleh para ilmuwan disebut sebagai Sabuk Laut.

Fungsi sabuk laut ini adalah mendorong air laut, yang sudah dipanaskan oleh matahari di wilayah tropik, ke daerah yang lebih dingin di kutub.

Proses sebaliknya juga terjadi, yaitu air dingin di Artik dan Antartika dibawa ke daerah tropik untuk dipanaskan.

Stuart Cunningham, seorang pakar khusus persoalan arus laut dari Inggris, mengatakan bahwa proses itu amat penting untuk Lautan Atlantik.

"Di wilayah utara Atlantik ada Laut Artik, sehingga arus air hangat bisa bergerak hingga jauh sekali ke ujung kutub. Itulah sebabnya iklim Eropa relatif tidak terlalu dingin," tuturnya.

Arus Atlantik Utara lebih dikenal dengan sebutan arus Teluk, dan yang dikuatirkan para ilmuwan adalah pemanasan global akan memperlambat arus itu.

Pernah terjadi

Laut

Kemampuan laut dalam menyerap panas akan berkurang

Yang lebih dikuatirkan lagi adalah jika pemanasan global akan menghilangkan sama sekali arus perpindahan air tersebut.

"Kita semua tahu bahwa bumi sedang memanas dan di belahan bumi Utara pemanasan lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kita sudah melihat sendiri pencairan es di Artik dan lapisan es di Pulau Greenland," kata Stuart Cunningham.

Pemanasan itu akan membuat jumlah air tawar di Laut Utara semakin banyak dan karena air tawar lebih ringan dari air laut, maka letaknya berada di permukaan air laut.

"Keberadaan air tawar ini mencegah air hangat yang sampai di daerah kutub terserap panasnya oleh atmosfir agar menjadi dingin untuk turun ke dasar laut. Karenanya proses sabuk arus lautan tidak lagi berfungsi," tutur Stuart Cunningham.

Tidak berfungsinnya sabuk arus laut ini membahayakan kehidupan biota laut karena itu berarti tidak akan ada lagi pergerakan.

Sebenarnya berhentinya sabuk arus lautan ini pernah terjadi selama 1000 tahun, dan membuat Eropa kembali ke jaman es, yaitu di abad ke 14.

Waktu itu kawasan Eropa seperti menjadi sebuah benua es mini, dan penyebabnya adalah gejala alami, antara lain badai angin yang keras.

Terumbu karang terancam

Terumbu karang

Meningkatnya keasaman laut akan mengancam terumbu karang

Selain itu masih ada kekuatiran lainnya, yaitu peningkatan keasaman laut, dan terumbu karang adalah yang paling rentan menghadapi peningkatan ini.

Menurut Dr. Nerilie Abrahams dari Universitas Nasional Australia, terumbu karang seperti sedang mencatat kematiannya sendiri.

"Kami tahu bahwa jumlah Karbon Dioksida yang dipompakan ke atmosfir sebetulnya mengubah keasaman laut, dan membuatnya lebih asam lagi. Bahayanya adalah tentu saja seluruh terumbu karang akan hancur dan larut karena asam tadi."

Persoalan perubahan suhu maupun berbagai perubahan lain yang dialami lautan sebetulnya bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Di masa lalu hal ini sudah berulangkali terjadi, namun perbedaannya adalah saat ini perubahan suhu tersebut dipicu oleh campur tangan manusia, jadi bukan karena sebab alami.

Dan jika campur tangan manusia itu tidak bisa dikurangi lagi, maka tidak bisa pula dihentikan lagi.

Para ilmuwan memang belum bisa meramalkan secara pasti tentang apa yang akan terjadi di masa depan, namun indikasi awal menunjukkan pengaruhnya adalah negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"MOHON KRITIK,SARAN DAN KOMENTAR ANDA"